ALWI TRISNAWAN
Powered By Blogger

Rabu, 19 Oktober 2011

Puing-puing Menara Keinginan (semoga bukan dulu dan kini)

Ku lihat tak ada tumpukan buku
Ku akui memang bukan itu kerjaku
Diantara apa yang terdengar
Mungkin hanya itu modal inspirasiku

Malam ini coretan lagi,
Masih karena kawan tadi bercerita lagi

Dulu semua itu terpikirpun tidak
hanya saja terkadang wanita membuatku bersyair tentangnya
ah, masih saja tentang wanita

Tidak sulit mengatakan aku mahasiswa
karena relasiku setiap hari bercerita tentang Indonesia dan sejarahnya
Dan aku, hanya menjadi pendengar setia

Aku adalah kelucuan negeri ini
Diam diantara pembicara ulung berpena
maaf saja, bukan karena instansiku murah,
Lihat saja secabik kertas itu semua bertuliskan tentang kalian yang berbicara

Aku kaku dengan semua hal yang sama
Karena diruangan lain kita pasti berbeda

Inilah puing keinginanku dulu dan kini
Menyusup disela-sela orang berseni tinggi
Menciptakan malam dengan batangan kebersamaan
Kebul asap penuhi ruangan yang tak bernurani walau sesaat
Semoga untuk saudara ketika berpisah nantinya

Biarkanlah petikan gitarmu itu kawan
Kau lah sejatinya seniman
biarkan hanyutkan lagu-lagu pemujaan
Lupakan diri ini sebagai yang teristimewakan
Sejajarkan saja dengan bangku yang diduduki
Biarkanlah kawan,...

Nasionalisme mereka, jangan kau pertanyakan,...

Dia Katakan Tentang Tuhannya

Pelik,
Kisahmu adalah kisah kesakitan
Mimpi mungkin mengisahkan ini sejak lama
Tapi pasti tak inginkan kisah ini nyata untukmu

Ketika kalimat suci terucap darinya yang tercinta
Terasa kau adalah pendosa yang tak terampunkan
Pendosa di titik-titik dunia
Seakan kisah indah tak pernah tertulis ditiap lembar hari
Dengan nama Tuhan sebagai keinginan tiap insannya

Entahlah,
Aku bukan konsultan ulung pengurus orang-orang penuh cinta
Untuk diri sendiri saja tak ada binar percintaan
Berulang kali kalimat cinta tertulis dilembar angan indah
Tapi hampa saja biarlah dulu

Mungkinkah hatinya menyatakan atas nama Tuhannya
Disaat kaupun memiliki Tuhan yang suci ditiap umatnya
Adilkah dengan semua kenangan dan lembarannya?
Adilkah dengan semua kisah tentang cinta?
Yakinku Tuhanmu dan Tuhannyapun tak inginkan ini

Lalu kemana mencarinya?
Lalu siapa yang salah?
Mengapa riuh pikiranku dengan perdebatan tentang cinta dan Tuhan!

Mungkin aku yang salah
Melihatmu begitu indah
Seakan air mata itu lambang sebuah kecintaan yang sesungguhnya
Tulus, lembut dan penuh dengan mozaik-mozaik rindu

Andai kaca-kaca suasana dapat cerminkan wajahmu
Kau pasti melihat,
Betapa anggun wajahmu tanpa air mata itu

Renungkanlah,
Tuhanmu adalah keindahanmu
Dedikasi murni dari sebuah kesetiaan adalah untukNya
Bagitu menggelikan tapi menyejukkan

Bangkitkan pandangan, tegakkan kepala
Biarkan waktu membuat indah keadaan
Untuk jalan yang sebenarnya.

Jogjakarta, 21 maret 2011

Dalam Cerita Aku Diam

Diam,..
Dibalik panggung itu aku diam
Memikiran bekas-bekas pengertian tentang sebuah keinginan
Yang malam ini beku karena dingin sikap tiap orang yang melihat
Berbaur dengan lidah-lidah tanpa kata

Aku inginkan sebuah kisah
Yang Nyata jika bersama dengan takdir tiap-tiap firman tuhan
Bukan buatan kisah kita sendiri
Atau kisah seorang dalang tua bersuara sejuta rupa
Aku rasa akan indah ceritanya,...

Aku adalah bocah dalam sebuah kisah
Menjadi pengikut permaisuri nan cantik jelita
Mengenalnya aku tak bisa bercerita apa-apa
Karena aku hanya pengikut setia
Setia dengan apa saja kata ceritanya

Kadang lelah mengikutinya,
Tapi yakinku dialah penantianku

Kembali diam untuk renungan yang khusyuk
Sepi, hening dan damai
Bukan aku  penulis cerita, hingga aku harus renungi
Mengingat lagi apa yang aku ingin dalam cerita ini
Mengikuti atau membuat ceritaku sendiri...